Selasa, 31 Oktober 2017

KISAH JIHAD SEORANG WANITA BERNAMA NASIBAH RA.

KISAH JIHAD YANG MENGHARUKAN "NASIBAH RA"

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

ُAssalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Hari itu Nasibah ra tengah berada di dapur.
Suaminya, Said ra tengah beristirahat di kamar tidur.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh.
Nasibah ra menebak, itu pasti tentara musuh.
Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.
Dengan bergegas, Nasibah ra meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya.
“Suamiku tersayang,” Nasibah ra berkata,
“aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”
Said ra yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak.

Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya.
Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah ra menghampiri.
Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said ra. “Suamiku, bawalah pedang ini.
Jangan pulang sebelum menang….” Said ra memandang wajah istrinya.

Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk
pergi ke medan perang.
Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara.
Said ra langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk.
Di satu sudut yang lain, Rasulullah saw melihatnya dan tersenyum kepadanya.
Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said ra saja.

Di rumah, Nasibah ra duduk dengan gelisah.
Kedua anaknya, Amar ra yang baru berusia 15 tahun dan Saad ra yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah saw,” berkata si penunggang kuda,
“Suami Ibu, Said ra baru saja gugur di medan perang.
Beliau syahid…” Nasibah ra tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya,
“Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah ra memanggil Amar ra.
Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan,
“Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid.
Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi saw.
Maukah engkau melihat ibumu bahagia?” Amar ra mengangguk.
Hatinya berdebar-debar. “Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak.
Bertempurlah bersama Nabi saw hingga kaum kafir terbasmi.”
Mata Amar ra bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu.
Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi.
Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah swt.”

Putra Nasibah ra yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah saw, ia memperkenalkan diri.
“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul saw dengan terharu memeluk anak muda itu.
“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung sampai sore.
Pagi2 seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka meunuju ke rumah Nasibah ra.
Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita,
“Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika utusan belum lagi membuka suaranya,
“apakah anakku gugur?” Utusan itu menunduk sedih,
“Betul….” “Inna lillah….”
Nasibah ra bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?” Nasibah menggeleng kecil. “
Tidak, aku gembira.

Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad ra masih kanak-kanak.”
Mendegar itu, Saad ra yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad ra adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”
Saad ra yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin.
Sebuah senyum terhias di wajahnya.
Ketika Nasibah ra dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad ra hilang bersama utusan itu.

Di arena pertempuran, Saad ra betul-betul menunjukkan kemampuannya.
Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir.
Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya.
Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Kembali Rasulullah saw memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah ra. Mendengar berita kematian itu, Nasibah ra meremang bulu kuduknya.
“Hai utusan,” ujarnya,
“Kau saksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi.
Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya.
“Tapi engkau perempuan, ya Ibu….” Nasibah ra tersinggung,
“Engkau meremehkan aku karena aku perempuan?
Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah ra tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut.

Ia bergegas saja menghadap Rasulullah saw dengan kuda yang ada.
Tiba di sana, Rasulullah saw mendengarkan semua perkataan Nasibah ra.
Setelah itu, Rasulullah saw pun berkata dengan senyum.
“Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata.
Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka.
Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Mendengar penjelasan Nabi saw demikian, Nasibah ra pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.

Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk
memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya.
Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini.
Apalagi waktu dilihatnya Nabi saw terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet
anak panah musuh, Nasibah ra tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani.

Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya.
Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya.
Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda. Peperangan terus saja berjalan.
Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah teronggok sendirian.

Tiba-tiba Ibnu Mas’ud ra mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau
ada korban yang bisa ditolongnya.
Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud ra mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya.
Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah saw ?
Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?
Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nasibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah saw ?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud ra menyerahkan kuda dan senjatanya.
Dengan susah payah, Nasibah ra menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran.
Banyak musuh yang dijungkirbalikannya.
Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus.
Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir.
Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung.
Padahal tadinya cerah terang benderang.
Pertempuran terhenti sejenak.
Rasul saw kemudian berkata kepada para sahabatnya,
“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?
Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya.
Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah ra, wanita yang perkasa.”

Subhanallahwalhamdulillah walaailaahaillallah wallahuakbar,.
Walaa haula walaa quwwata illa billah Al aliyyi al 'adzim,.

Semoga bermanfaat

"SIRAH SAHABAT NABI SAW"