Kisah Mush’ab Islamkan Separuh Warga Madinah



Masjid Nabawi
Mush’ab bin Umair, pemuda tampan yang meninggalkan gelimang harta itu, adalah pemuda yang cerdas dan bijaksana. Kematangan berpikir dan berkomunikasi serta sifat zuhudnya jauh melebihi usia biologisnya. Maka Rasulullah pun memilihnya untuk menjadi duta Islam pertama ke Yatsrib, yang kelak bernama Madinah. Banyak sahabat lain yang usianya lebih tua, lebih dulu masuk Islam, lebih dekat kekerabatannya dengan Rasulullah, namun Rasulullah lebih memilih Mush’ab untuk menyebarkan Islam di kota yang nantinya menjadi tujuan hijrah Rasulullah.
Saat Mush’ab berangkat ke Madinah, jumlah muslim di sana hanya 12 orang. Mereka itulah yang menghadap Rasulullah dan berbaiat di bukit Aqabah.
Mush’ab bin Umair bergerak cepat. Karunia Allah kepadanya berupa tutur kata yang tertata dan pribadi yang menawan membuat hampir setiap orang yang diajaknya bicara menjadi terpesona. Dakwah pun dengan cepat masuk ke hati orang-orang Yatsrib. Metode dakwah Mush’ab, yang mengajari para mualaf agar keimanannya semakin dalam serta mengajak orang-orang baru masuk Islam, terutama dari kalangan pemimpin kabilah, membuat Islam dengan cepat berkembang.
Suatu hari, Mush’ab ditemani As’ad bin Zurarah pergi ke sebuah kebun milik Kabilah Bani Zhufr. Di sana Mush’ab mengajarkan Islam.
Dua tokoh Yatsrib, Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz, merasa gerah dengan berita kedatangan Mush’ab. Mereka berniat mengusirnya dan melindungi kaumnya dari dakwah Mush’ab.
“Datangilah Mush’ab dan As’ad,” kata Sa’adz bin Mu’adz kepada Usaid bin Hudhair, “mereka berdua telah mendatangi perkampungan kita untuk membodohi orang-orang lemah. Laranglah mereka. Jika saja aku bukan kerabat As’ad bin Zurarah, niscaya aku sendiri yang menyelesaikan masalah ini.”
“Baiklah,” kata Usaid sambil mengambil tombaknya, lalu pergi ke arah Mush’ab dan As’ad.
Melihat Usaid ke arah mereka, As’ad mengatakan kepada Mush’ab, “Orang yang akan mendatangimu itu adalah pemuka kaum.”
“Jika dia mau duduk, aku akan berbicara kepadanya,” jawab Mush’ab.
Seperti niatnya semula, Usaid mencaci maki Mush’ab dan As’ad.
“Mengapa kalian datang kepada kami, membodohi orang-orang lemah kami?! Pergilah kalian jika ingin selamat!”
Mush’ab tetap tenang. Gesturnya menampakkan kegagahan. Wajahnya memancarkan keteduhan. Ia tidak terpancing dengan kata-kata Usaid, tidak juga takut.
“Tidakkah Anda duduk sejenak, untuk mendengarkan kami,” kata Mush’ab dengan penuh ketenangan, “Jika Anda menyukainya, Anda bisa menerimanya. Namun jika Anda tidak menyukainya, kami akan pergi”
Usaid, tokoh yang terkenal cerdas itu, memandang ide Mush’ab adalah ide yang tidak merugikannya sedikitpun. “Baik, ini adil,” jawabnya seraya menancapkan tombaknya ke tanah dan mengambil tempat duduk di depan Mush’ab.
Mush’ab pun mulai berbicara. Kata-kata penuh hikmah mengalir dari lisannya. Ia membacakan ayat-ayat Al Qur’an, menjelaskan Islam. Sementara Usaid memperhatikan dengan seksama. Wajahnya berubah, dari penuh amarah dan kebencian menjadi wajah yang cerah. Hatinya terbuka dengan hidayah.
“Alangkah bagus dan indahnya ucapan ini. Apa yang harus aku lakukan jika aku ingin masuk ke dalam agama ini?” Betapa terkejutnya kaum muslimin di sekitar Mush’ab. Dalam waktu singkat, pemimpin kaum itu berubah; dari marah-marah menjadi beroleh hidayah. Dari niat mengusir menjadi masuk Islam.
“Silahkan engkau mandi, bersuci, menyucikan bajumu, lalu mengucapkan syahadat. Dan setelah itu melakukan shalat.”
Usaid melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab. Kini, jadilah ia Muslim.
“Sesungguhnya di belakangku ada seseorang yang jika ia masuk Islam, maka takkan ada yang seorangpun darikaumnya yang tertinggal. Aku akan mempertemukannya denganmu.” Usaid mengambil tombaknya dan kembali ke tempat Sa’ad bin Mu’adz.
Melihat kedatangan Usaid, orang-orang merasa ada yang janggal. Raut wajahnya telah berubah.
“Bagaimana hasilnya?”
“Aku telah melarang keduanya. Mereka akan pergi. Tetapi, katanya kabilah Bani Haritsah keluar menuju As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya. Mereka tahu bahwa dia adalah sepupumu. Mereka ingin mengkhianatimu.”
Mendengar itu, Sa’ad marah. Meski berbeda keyakinan, ia tidak ingin kerabatnya terluka. Ia juga merasa dilecehkan jika kabilah bani Haritsah mengkhianatinya.
Setibanya di dekat As’ad dan melihatnya baik-baik saja, Sa’ad merasa Usaid telah membujuknya untuk bertemu mereka.
Seperti halnya Usaid, Sa’ad juga mencaci maki Mush’ab dan As’ad.
“Mengapa kalian datang kepada kami, membodohi orang-orang lemah kami?! Pergilah kalian jika ingin selamat!”
Mush’ab tetap tenang. Gesturnya menampakkan kegagahan. Wajahnya memancarkan keteduhan. Ia tidak terpancing dengan kata-kata Usaid, tidak juga takut.
“Tidakkah Anda duduk sejenak, untuk mendengarkan kami? Jika Anda menyukainya, Anda bisa menerimanya. Namun jika Anda tidak menyukainya, kami akan pergi”
“Baiklah,” jawab Sa’ad seraya menancapkan tombaknya ke tanah dan mengambil tempat duduk di depan Mush’ab.
Mush’ab pun mulai berbicara. Ia membacakan ayat-ayat Al Qur’an, menjelaskan Islam. Kata-kata hikmah itu disimak dengan baik oleh Sa’ad. Raut wajah Sa’ad berubah, dari penuh amarah dan kebencian menjadi wajah yang cerah. Hatinya terbuka dengan hidayah.
“Alangkah bagus dan indahnya ucapan ini. Apa yang harus aku lakukan jika aku ingin masuk ke dalam agama ini?” Betapa terkejutnya kaum muslimin di sekitar Mush’ab. Dalam waktu singkat, tokoh ini juga berubah; dari marah-marah menjadi beroleh hidayah. Dari niat mengusir menjadi masuk Islam.
“Silahkan engkau mandi, bersuci, menyucikan bajumu, lalu mengucapkan syahadat. Dan setelah itu melakukan shalat.”
Sa’ad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab. Lalu ia pamit untuk mengajak kaumnya memeluk Islam.
“Wahai kabilah Bani Abdul Asyhal, bagaimana reputasiku di tengah-tengah kalian?” tanya Sa’ad kepada kaumnya yang masih merasa aneh dengan perubahan air muka Sa’ad.
Mereka pun menjawab pertanyaan itu dengan menyanjung dan menyebutkan kedudukan Sa’ad bagi kabilah Bani Abdul Asyhal.
“Sungguh, ucapan kalian, baik laki-laki maupun perempuan haram atasku, hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,” ujar Sa’ad mengagetkan mereka semua. Namun itu hanya sesaat. Pada sore harinya, seluruh kabilah Bani Abdul Asyhal sudah masuk Islam.
Demikianlah kecerdasan Mush’ab dalam berdakwah. Ia mengajak orang yang cerdas untuk menggunakan akalnya. Ia menghormati orang yang didakwahinya sesuai kedudukannya. Ia dengan bijaksana berbicara kepada kaum sesuai bahasa dan tingkat akal mereka.
Dalam waktu singkat, dakwah Islam menyebar ke seluruh penjuru Yatsrib. Perkembangan dakwah Mush’ab ini bahkan lebih cepat dari perkembangan dakwah di Makkah. Jumlah muslim Madinah dalam tempo dua tahun bahkan lebih banyak daripada jumlah pengikut dakwah di Makkah selama dua belas tahun.
Maka di tahun berikutnya, para pemimpin Yatsrib datang ke Makkah pada musim haji. Mereka terdiri dari 70 pemuka kaum yang menjadi perwakilan kaum muslimin Yatsrib. Bersama Mush’ab, mereka menemui Rasulullah di bukit Aqabah dan berbaiat kepada Rasulullah di sana. Mereka juga telah siap menyambut Rasulullah hijrah ke Yatsrib dan mengubah kota itu menjadi Madinaturrasul atau lebih dikenal dengan nama Madinah.
Saat Rasulullah hijrah, tidak satupun rumah penduduk Madinah, kecuali di dalamnya ada Muslim. Masya Allah… demikianlah berkah Allah melalui dakwah Mush’ab bin Umair. Rasulullah tak pernah saah mengutus dai dan duta Islam yang tampan itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar