Rabu, 10 Februari 2016
DIALOG SUNNI DAN WAHABI
TENTANG TABARUK DI MAKAM NABI SAW DAN DI MAKAM
ORANG-ORANG SHALEH.
MAKAM ROSULULLAH SAW. |
SUNNI: “Tabaruk dengan makam Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh termasuk bagian dari ajaran Islam yang
berlangsung sejak masa sahabat radhiyallahu ‘anhum.”
WAHABI: “Adakah riwayat yang shahih bahwa para
sahabat bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
SUNNI: “Banyak sekali riwayat yang shahih
mengenai hal ini, dan disebutkan dalam sekian banyak kitab-kitab hadits dan
sejarah. Antara lain riwayat dari Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, dalam
Sunan al-Darimi sebagai berikut:
حدثنا أبو النعمان حدثنا سعيد بن زيد حدثنا
عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو الجوزاء أوس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة
قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا
منه كووا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى
نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق. قال حسين سليم أسد :
رجاله ثقات وهو موقوف على عائشة
MAKAM PARA IMAM MUHADDIST |
Dalam hadits di atas jelas sekali, para sahabat
dan kaum Salaf bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menghadapi musim paceklik.”
WAHABI: “Maaf, hadits tersebut meskipun shahih
atau hasan menurut Syaikh Husain Salim Asad, menurut ulama yang paling kami
kagumi, yaitu Syaikh al-Albani, hadits tersebut termasuk hadits dha’if. Jadi
kami tidak dapat menerima dalil tersebut.”
SUNNI: “Apa alasan Syaikh al-Albani mendha’ifkan
hadits mauquf tersebut?”
WAHABI: “Pertama, hadits tersebut diriwayatkan
oleh al-Darimi melalui Abu al-Nu’man, seorang perawi yang mengalami ikhtilath
pada masa akhir hayatnya, dan kita tidak tahu, apakah al-Darimi mendengar
hadits darinya sebelum terjadi ikhtilath atau sesudahnya. Oleh karena itu
Syaikh al-Albani menjadikan Abu al-Nu’man ini sebagai salah satu alasan kelemahannya”
MAKAM AULIYA DI HADHROMAUT |
عارم محمد ابن الفضل اختلط بأخرةٍ، فما
رواه عنه البخاري ، ومحمد بن يحيى الذهلي، وغيرهما من الحفاظ ينبغي أن يكون
مأخواً عنه قبل اختلاطه . اهـ .
“Arim Muhammad bin al-Fadhal (Abu al-Nu’man),
mengalami ikhtilath pada masa akhir hayatnya. Sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Dzuhli dan para huffazh,
hendaknya diambil darinya sebelum ikhtilath.” (Muqaddimah Ibn al-Shalah, hal.
426).
Bahkan al-Hafizh al-‘Iraqi berkata:
وكذلك ينبغي أن يكون من حدث عنه من شيوخ
البخاري ومسلم.اهـ.
“Demikian pula orang yang menerima hadits dari
Abu al-Nu’man dari guru-guru al-Bukhari dan Muslim (hendaknya dianggap menerima
sebelum ikhtilath).” (al-Taqyid wa al-Idhah, hal. 462).
Sementara al-Darimi, perawi hadits di atas,
termasuk guru-guru al-Bukhari dan Muslim. Berarti al-Darimi menerima hadits
tersebut sebelum Abu al-Nu’man ikhtilath. Kalau al-Albani mendha’ifkan riwayat
di atas, karena alasan Abu al-Nu’man, berarti al-Albani harus mendha’ifkan pula
hadits-hadits Shahih al-Bukhari yang melalui jalur Abu al-Nu’man. Bukankah Abu
al-Nu’man trmasuk perawi Shahih al-Bukhari?
2) Terkait ikhtlathnya Abu al-Nu’man, al-Dzahabi
telah mengutip pembelaan al-Daraquthni yang menegaskan dalam Mizan al-I’tidal
(4/8), bahwa setelah Abu al-Nu’man mengalami ikhtilath, tidak nampak
hadits-haditsnya yang munkar. Karena itu, ia harus tetap dikatakan tsiqah. Oleh
karena itu, mendhaifkan hadits di atas dengan alasan Abu al-Nu’man harus
ditolak. Yang lucu, al-Albani dalam bukunya al-Tawassul (hal. 128) mengutip
pernyataan Ibnu al-Shalah bahwa Abu al-Nu’man termasuk perawi yang ikhtilath.
Tetapi al-Albani, tidak mengutip pernyataan Ibnu al-Shalah yang menjelentrehkan
persoalan bahwa ikhtilathnya Abu al-Nu’man tidak berpengaruh terhadap
hadits-hadits al-Bukhari, al-Dzuhli dan para huffazh kibar. Jadi al-Albani,
panutan Anda, memang lucu.”
WAHABI: “Maaf, seandainya Abu al-Nu’man memang
tetap tsiqah, dan ikhtilathnya tidak melemahkan terhadap hadits di atas, dalam
hadits di atas terdapat illat lain, yaitu Sa’id bin Zaid, yang menjadi
perbincangan para ulama. Karena itu, Syakh al-Albani, panutan kami, melemahkan
hadits di atas karena alasan Sa’id bin Zaid tersebut.”
SUNNI: “Maaf ya, panutan Anda, Syaikh al-Albani
tidak jujur mengenai Sa’id bin Zaid. Ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits
mengenai tawasul dan tabaruk, sebelum dalam hadits di atas, al-Albani
mendha’ifkannya. Tetapi ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits yang tidak
menyangkut tawasul dan tabaruk, al-Albani menilainya perawi yang haditsnya
hasan. Kalau tidak percaya, coba Anda cek dalam kitab al-Albani, Irwa’
al-Ghalil juz 5 hal. 338. Jadi, dalam beragama, Anda jangan mengikuti orang
yang tidak jujur seperti al-Albani. Ikuti saja Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli
hadits. Jangan ikut wahabi.”
WAHABI: “Maaf, Syaikh al-Albani mendhaifkan
hadits di atas, juga karena ada perawi yang bernama Amr bin Malik al-Nukri.
Jadi masih ada alasan lagi, selain dua alasan bohong tadi. Kalau yang ini,
Syaikh al-Albani pasti benar.”
SUNNI: “Saya sudah bilang, al-Albani tidak dapat
dipercaya. Dalam kitab al-Tawassul, al-Albani melemahkan hadits di atas, juga
karena alasan Amr bin Malik al-Nukri. Tapi dalam kitab yang lain, al-Albani
justru menilai Amr bin Malik al-Nukri seorang perawi yang tsiqah. Kalau tidak
percaya, Anda cek kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahih juz 5 hal. 608. Di situ
al-Albani menganggap Amr bin Malik al-Nukri sebagai perawi tsiqah. Bahkan dalam
ta’liq kitab Fadhl al-Shalah ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, hal.
88, al-Albani menilainya tsiqah juga. Karenanya, jangan coba-coba kamu percaya
sama al-Albani, pasti kamu diakali. Apalagi para pengikut al-Albani yang di
Indonesia, hati-hati dengan mereka.”
Setelah si Wahabi tadi membuka kitab-kitab
al-Albani yang ditunjukkan tadi, ia terbelalak. Betapa selama ini al-Albani
telah banyak membohonginya. Akhirnya ia bertanya, “Menurutmu, hadits di atas
bagaimana?”
SUNNI: “Hadits di atas nilainya hasan atau
shahih.”
WAHABI: (semakin ragu-ragu dengan al-Albani dan
murid-muridnya).
Wassalam
Oleh Muhammad Idrus Ramli
Langganan:
Postingan (Atom)