Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki
menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada ‘Utsman. Laki-laki
tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia
menghayalkannya.
Utsman berkata kepada laki-laki itu:
“Aku melihat ada bekas zina di matamu.”
Laki-laki itu bertanya: “Apakah wahyu
masih diturunkan setelah Rasulullah Saw wafat?”
Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk
mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah
dilakukannya.
Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan
bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah,
sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam
orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya
itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi
karena mengetahui sebab kotornya, seperti ‘Utsman r.a. Ketika ada seorang
laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor
dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.
Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan
menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya
kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
“Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya
apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka (QS Al-Muthaffifin [83]:
14).
Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan
membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan
menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi
untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya:
Dan hati mereka telah dikunci mati,
sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad. (QS Al
Taubah [9]: 87)
Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat
hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan
memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat
menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata
batin yang tajam seperti ‘Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui
kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan
dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui
sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila
dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran
hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap.
Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu
dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu
mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang
membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya
jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.
Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah
al-Ghifari mendekati ‘Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah
merebut tongkat ‘Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah
menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut
kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa
Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat
dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya.
Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan
tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman
yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)
Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam
mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan
salam kepadanya. ‘Utsman bercerita, “Selamat datang saudaraku. Aku melihat
Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, “Utsman, apakah
mereka mengurungmu?’ Aku menjawab, `Ya.’ Lalu beliau memberikan seember air
kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau
mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari
ikut kami.’ Kemudian aku memilih makan bersama mereka.” Pada hari itu juga,
`Utsman terbunuh.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini
adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa
sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis,
apa yang dialami ‘Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap
karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur
tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini
disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para Wali.
(Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari
kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)
Ada 5 Tanda Orang Bertaqwa menurut Sayyidina
'Utsman bin 'Affan r.a.:
- Tidak suka bergaul kecuali bergaul dengan orang-orang yang sholeh/sholehah, yang menjaga lisannya. Dengan bergaul dengan orang-orang sholeh, maka akan mendapatkan banyak dakwah, masukan, kritik yang membangun dan ketenangan bila mendapatkannya dari orang-orang yang hanya mengucap kebenaran.
- Jika mendapat musibah duniawi, ia
menganggapnya sebagai ujian dari Alloh SWT.
Salah satu yang mengangkat diri kita di mata Alloh adalah lulusnya kita dari ujian yang diberikan-Nya. Bila diberikan musibah orang lebih mudah ingat kepada Alloh namun saat diberi ujian kenikmatan, saat itulah Alloh benar-benar sedang menguji kita.
- Jika mendapat musibah dalam urusan agama ia
akan sangat menyesalinya.
Teringat cerita Sayyidina Umar bin Khattab r.a. yang ketinggalan satu rakaat sholat Ashar di Masjid hanya karena beliau sedang asyik berada dalam kebun kurmanya. Mengetahui dirinya telah tertinggal satu rakaat dalam berjamaah, Sayyidina Umar pun begitu menyesali perbuatannya sehingga kebun kurma yang dianggap sebagai penyebab musibah itu akhirnya dijual.
- Tidak suka memenuhi perutnya dengan makanan haram & tidak sampai kenyang.Ini merupakan manifestasi dari sabda Rosululloh saw yang berbunyi
“Makanlah sebelum engkau lapar dan berhentilah makan
sebelum kenyang”.
Sungguh suatu perintah yang seakan-akan mudah
dilaksanakan namun saat mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari, dari
sinilah bentuk ketakwaan seorang mukmin dibentuk.
Apabila memandang orang lain, orang itu lebih
sholeh dari dirinya. Tapi bila memandang diri sendiri, dirinya adalah orang
yang penuh dosa.
Nampaknya banyak diantara kita, seperti yang telah diberikan hidayah dari Alloh berupa kenikmatan dalam beribadah, kemudahan dalam bertahajud, keringanan dalam berpuasa sunnah atau keindahan dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mudah menganggap dirinya lebih sholeh dibanding lainnya. Padahal sikap merendah adalah salah satu yang dianjurkan oleh Rasul. Belajar tawadhu’ dan senantiasa melakukan amal ibadah tanpa membandingkan dengan orang lain adalah start yang baik untuk meningkatkan kualitas ketakwaan diri.
Nampaknya banyak diantara kita, seperti yang telah diberikan hidayah dari Alloh berupa kenikmatan dalam beribadah, kemudahan dalam bertahajud, keringanan dalam berpuasa sunnah atau keindahan dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mudah menganggap dirinya lebih sholeh dibanding lainnya. Padahal sikap merendah adalah salah satu yang dianjurkan oleh Rasul. Belajar tawadhu’ dan senantiasa melakukan amal ibadah tanpa membandingkan dengan orang lain adalah start yang baik untuk meningkatkan kualitas ketakwaan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar