Gambar illustrasi Sayidina Umar RA. "Sang Pemberani" |
Kegelisahan melanda sebagian besar pemuka Quraisy. Gurat
wajah mereka mengeras penuh beban. Kabar angin bahwa beberapa penduduk Yatsrib
telah masuk Islam dan siap menampung kaum muslimin membuat mereka tak bisa lagi
terlelap. Belum lagi saat Rasulullah SAW benar-benar menyuruh kaum muslimin
untuk berhijrah ke negeri impian itu, mereka pun meningkatkan siksaan pada kaum
muslimin yang tersisa di tanah suci. Berbondong-bondong, pelan namun pasti,
kaum muslimin berhijrah dari Mekah ke Yatsrib dengan sembunyi-sembunyi. Dan
pasukan Quraisy pun semakin meningkatkan penjagaan batas kotanya.
Kegelisahan itu tak terbendung lagi saat Umar bin Khattab
mendeklarasikan niatnya untuk berhijrah. Pemuda pemberani itu membawa
pedang yang siap dihunuskan setiap saat, lalu shalat dan thawaf sejenak di
Baitullah, sementara seluruh mata Quraisy tajam tertuju pada sosok tinggi besar
itu. Usai thawaf, Umar naik ke atas bukit memandang sekeliling dengan pandangan
yang teguh nan angkuh. Ia berseru lantang menciutkan hati kafir Quraisy.
Ucapannya yang begitu tegas terpampang dalam sejarah orang-orang pemberani:
“Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi
yatim, maka temui aku dibalik bukit ini!!! “. Ucapan yang tajam bak
pedang terhunus. Menginjak-injak kesombongan dan harga diri kafir Quraisy.
Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka, bahwa sosok Umar kini benar-benar
menantang keberanian mereka.
Pemuda itu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Ia tidak
menantang dengan sembarang ucapan. Ia tidak memberi peluang kemenangan. Ia
tidak menantang pada posisi lemah bahkan tidak pula seimbang. Ia menantang dalam
posisi kemenangan! Karenanya ia memilih kalimat yang tajam: “Barang siapa yang
menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim ….. “. Habis
sudah kesombongan yang sempat terpatri dalam barisan Quraisy. Mereka bagaikan
kerbau dicocok hidung. Tak ada respon, tak ada kemarahan. Bahkan wajah mereka
pun seolah tertunduk kalah. Dan Umar bin Khattab pun melenggang tenang ke
Madinah. Allahu Akbar!
Jangan tergesa menuduh Umar bin Khattab nekad setengah mati.
Jangan pula terburu berlebihan memuji bahwa ia super pemberani tanpa strategi.
Tidak, sekali-kali tidak. Yang sedang dilakukan oleh Umar adalah mengelola
potensi keberanian dengan cerdas. Ia sedang berstrategi dengan mengukur
kemampuan dan potensi diri. Ia tahu persis kapan harus melakukan serangan
‘psyco war’ yang tajam menghujam, sebagaimana ia juga tahu kapan saat harus
mundur teratur mengganti strategi. Inilah yang dilakukan Umar di medan
Hudaibiyah. Saat seribuan lebih pasukan muslim di Madinah hendak menunaikan
umrah di tanah suci, kafir Quraisy pun bersegera mengancam untuk menahan mereka
mati-matian. Lalu Rasulullah SAW pun meminta Umar untuk menjadi utusan
resmi, melobi pihak Quraisy agar membuka pintu Mekah bagi kaum muslimin yang
akan umrah. Tapi kali ini Umar menolak dengan halus permintaan Rasulullah SAW
yang sangat dihormatinya. Umar RA merekomendasikan Utsman bin Affan agar
menjadi utusan berikutnya.
Ada apa dengan Umar? Ke mana keberaniannya saat Hijrah
seorang diri menantang seluruh penduduk Quraisy? Apakah keberaniannya mati suri
setelah beberapa tahun menikmati kenyamanan ‘Madinah”? Tidak, sekali-kali
tidak. Kali ini Umar RA pun sedang memainkan strateginya. Ia cerdas mengelola
keberanian. Ia tidak sedang takut dan bahkan tidak pernah terbesit dalam
hatinya rasa takut itu. Bagaimana ia bisa takut, sedangkan Rasulullah SAW saja
menggambarkan sosok Umar sebagai satu-satunya manusia yang Jin pun enggan dan
jengah berpapasan dengannya? Lalu apa yang dimaksudkan Umar dengan penolakannya
itu?
Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah strategi. Keberanian
Al-Faaruuq itu tetap utuh pada tempatnya. Tidak berkurang sedikit pun dalam
dadanya. Ia mundur sejenak karena sebuah strategi. Ia selalu cerdas mengelola
keberanian yang ia miliki. Mengapa Umar menolak menjadi utusan Rasulullah SAW
dan justru merekomendasikan nama Utsman bin Affan? Kecerdasan Umar dalam
mengelola keberanian bisa kita lihat dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama: Umar sadar dengan potensi dirinya. Ia bukanlah tipe
negosiator yang baik. Ia seorang yang tegas dan tak terlampau suka berdialog
dengan penentang keberanian. Jika ia menjadi utusan, maka ia takut akan merusak
agenda damai Rasulullah SAW yang datang ke Mekah untuk sebuah tujuan ibadah
yang begitu mulia. Jadi pada titik ini, ia merasa bukan orang tepat untuk membawa
pesan kedamaian!
Kedua: Umar bin Khattab lebih merekomendasikan Utsman, karena Umar
tahu persis bahwa Utsman lebih handal dalam kemampuan lobby dan agitasi. Bukan
itu saja, Umar juga tahu bahwa Utsman masih mempunyai kaki yang kokoh di Mekah,
keluarganya masih tersebar banyak di tanah mulia itu. Mereka adalah jaminan
tidak langsung bagi keselamatan Utsman saat memasuki wilayah Quraisy. Berbeda
dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adi, yang mempunyai akses sekuat keluarga
Utsman di Mekah.
Ketiga: Umar menyadari sepenuhnya, bahwa kepalanya saat ini
sangat berharga dalam pandangan orang-orang Quraisy. Umar masuk dalam
kategori ‘most wanted’ bagi keluarga veteran Badr dari pihak pasukan Quraisy.
Betapa tidak? Ingatan pasukan Quraisy pasti tidak akan pernah lupa, bagaimana
pedang Umar telah banyak menyambar kepala pemuka-pemuka mereka di medan Badar.
Pedang Umar telah banyak menumpahkan darah yang begitu murah saat itu. Inilah
yang menjadikan gigi mereka selalu bergemeretak penuh dendam saat mendengar
nama Umar. Umar tahu persis akan hal ini, karenanya ia mundur sejenak bukan
karena penakut. Tapi ia begitu cerdas tahu kapan saatnya maju dan mundur, dan
tetap dalam keberanian yang kokoh. Umar bin Khattab juga cerdas saat
merekomendasikan nama Utsman, karena Umar tahu bahwa profil Utsman relatif
netral di mata Quraisy. Mereka belum menyimpan amarah dan dendam yang begitu
besar, karena Utsman bin Affan tidak pernah terlibat dalam pertempuran Badar.
Utsman tidak ikut mengayunkan pedang bersama kaum muslimin lainnya di medan
Badr, atas perintah Rasulullah SAW untuk fokus pada perawatan istrinya yang
sedang terbaring sakit parah di Madinah.
Inilah kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian. Tahu kapan
saatnya tampil meruntuhkan kesombongan lawan, dan paham kapan ia harus mundur
sejenak menyimpan keberanian untuk tidak ditampilkan.
Setiap kita mempunyai potensi keberanian. Setiap hari
keberanian kita akan ditantang dengan berbagai permasalahan. Keberanian kita
akan senantiasa diuji dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan ini.
Akan ada berbagai pilihan untuk membuat keputusan-keputusan besar yang
senantiasa menggoda bagi kita untuk menjawabnya saat ini juga, apakah dengan
menampilkan keberanian begitu saja apa adanya, ataukah menyimpannya sejenak
dengan penuh kecerdasan dan strategi sebagaimana Umar bin Khattab mencontohkan?
Semua pasti akan mengalami saat-saat semacam ini. Para
penentu kebijakan selalu saja dalam posisi yang gamang; Apakah menunjukkan
keberanian untuk memuaskan harapan para pendukungnya? Agar keberanian itu tetap
terjaga citranya di hadapan teman, keluarga atau bawahannya. Ataukah memilih
mengelola keberanian itu dengan cerdas, menyimpannya sejenak, sehingga seolah
terlihat tak ada keputusan yang berani, tetapi sejatinya yang ada adalah
langkah jitu yang akan membuahkan kemenangan telak dan sekaligus membungkam
lawan! Akhirnya, selamat mengelola keberanian Anda dengan cerdas. Semoga
bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar