Ketujuh, Zainab binti Jahsy.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy dilahirkan pada
tahun 32 sebelum hijrah. Ibunya adalah Umaimah binti Abdul Muthalib, bibi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummul mukminin Zainab binti
Jahsy adalah wanita terhormat saudari dari Abdullah bin Jahsy, sang pahlawan
Perang Uhud yang dimakamkan satu liang dengan paman Nabi, Hamzah bin Abdul
Muthalib radhiallahu ‘anhu.
Sebelum menjadi istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Zainab adalah istri dari anak angkat Nabi yakni Zaid
bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Pernikahan keduanya tidak berjalan
langgeng karena perbedaan kafa-ah. Akhirnya perceraian pun
terjadi.
Lalu Zainab dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ketika itu, Zainab berusia 37 tahun. Berjalanlah biduk rumah
tangga Rasulullah dengan Zainab selama 6 tahun, hingga Rasulullah wafat. Di
antara keistimewaan Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha adalah Allah Ta’ala
yang menjadi walinya saat menikah dengan Rasulullah.
Di antara hikmah pernikahan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan Zainab adalah meluruskan budaya yang keliru pada
masyarakat kala itu. Orang-orang saat itu beranggapan bahwa anak angkat sama
statusnya dengan anak kandung. Anggapan ini tentu saja akan berdampak pada
hukum-hukum syariat yang lainnya; waris, mahram, pernikahan, dll. Tradisi dan
anggapan ini kian mengakar di masyarakat Islam pada saat itu sehingga perlu
diluruskan. Karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahys radhiallahu ‘anha,
untuk menghapus anggapan demikian. Jika tidak anggapan ini akan berdampak berat
bagi umat manusia, secara khusus lagi umat Islam.
Ummul mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu
‘anha wafat pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab tahun 21 H dengan
usia 53 tahun.
Kedelapan, Juwairiyah binti
al-Harits bin Abi Dhirar.
Ummul mukminin Juwairiyah binti al-Harits
al-Kuza’iyah al-Qurasyiyah dilahirkan tahun 14 sebelum hijrah. Ia adalah wanita
yang sangat cantik dan memiliki kedudukan mulia di tengah kaumnya. Ayahnya,
al-Harits bin Abi Dhirar, adalah kepala kabilah Bani Musthaliq.
Suatu hari al-Harits bin Abi Dhirar mengumpulkan
pasukan untuk menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendengar kabar tersebut, Rasulullah segera bertindak cepat dan bertemulah
kedua pasukan di sebuah oase yang dikenal dengan Muraisi’. Peperangan itu
dimenangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Al-Harits bin Abi Dhirar tewas dalam peperangan sedangkan
Juwairiyah bin al-Harits menjadi tawanan.
Juwairiyah dijatuhkan sebagai bagian dari Tsabit
bin Qais bin Syammas yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Namun
Juwairiyah tidak menerima hal ini. Ia datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam agar bersedia menebus dirinya. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menawarkan tawaran yang lebih terhormat daripada hal
itu. Nabi menawarkan diri untuk menikahinya. Dengan gembira Juwairiyah menerima
tawaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hikmah dari pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Juwairiyah adalah untuk menaklukkan hati Bani Musthliq
agar menerima dakwah Islam. Lantaran pernikahan ini, para sahabat membebaskan
tawanan-tawanan Bani Mustaliq yang jumlahnya sekitar 100 keluarga. Para sahabat
tidak rela kerabat Rasulullah menjadi tawanan. Aisyah radhiallahu ‘anha
pun memuji Juwairiyah sebagai wanita yang penuh keberkahan untuk kaumnya.
Pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan Juwairiyah berlangsung pada tahun ke-5 H. Saat itu ummul
mukminin Juwairiyah binti al-Harits radhiallahu ‘anha berusia 19 atau
20 tahun. Rumah tangga nubuwah ini berlangsung selama 6 tahun.
Ummul mukminin Juwairiyah binti al-Harits wafat
pada tahun 56 H saat berusia 70 tahun.
Kesembilan, Shafiyah binti Huyai
bin Akhtab.
Sebelum memeluk Islam, Ummul mukminin Shafiyah
binti Huyai adalah seorang wanita Yahudi dari Bani Nadhir. Ayahnya, Huyai bin
Akhtab, adalah tokoh terkemuka di kalangan Yahudi dan termasuk ulama Yahudi di
masa itu. Nasab ummul mukminin Shafiyah radhiallahu ‘anha bersambung
sampai Nabi Harun bin Imran ‘alaihissalam. Jadi beliau adalah wanita
dari kalangan Bani Israil. Ummul mukminin Shafiyah lahir pada tahun 9 sebelum
hijrah.
Setelah Bani Nadhir diusir dari Madinah, mereka
hijrah menuju perkampungan Yahudi di Khaibar. Dalam Perang Khaibar, Allah Ta’ala
memenangkan kaum muslimin. Banyak harta rampasan perang dan tawanan yang
dikuasai oleh kaum muslimin. Di antara mereka adalah Shafiyah binti Huyai.
Awalnya Shafiyah termasuk pendapatan perang dari sahabat yang mulia, yang
Malaikat Jibril sering datang dalam bentuk fisiknya yaitu Dihyah bin Khalifah radhiallahu
‘anhu. Namun karena kedudukan Shafiyah, ada seorang sahabat yang datang
mengajukan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima
Shafiyah. Kemuliaan Shafiyah sebagai wanita pemuka Bani Quraizhah dan Bani
Nadhir hanya layak disandingkan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah menerima Islam, Rasulullah menikahi
Shafiyah. Pernikahan pun dilangsungkan, yaitu pada tahun 8 H. Rumah tangga
mulia ini berlangsung selama 4 tahun hingga wafatanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hikmah pernikahan ini adalah Islam menjaga
kedudukan seseorang, tidak merendahkannya malah menjadikannya kian mulia. Siapa
yang mulia sebelum Islam, maka dia juga dimuliakan setelah berislam.
Ummul mukminin Shafiyah binti Huyai wafat pada
tahun 50 H di zaman pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Saat itu usia beliau 59 tahun.
Kesepuluh, Ummu Habibah.
Nama Ummu Habibah adalah Ramlah binti Abu Sufyan.
Beliau dilahirkan pada tahun 25 sebelum hijrah. Ia merupakan putri dari salah
seorang tokoh Quraisy yakni Abu Sufyan bin Harb radhiallahu ‘anhu.
Ummu Habibah radhiallahu ‘anha masuk Islam
lebih dahulu dibanding ayahnya dan saudara laki-lakinya, Muawiyah bin Abu
Sufyan. Bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy ia hijrah ke negeri Habasyah.
Namun sayang, ketika di Habasyah suaminya murtad berpindah agama menjadi
seorang Nasrani. Ummu Habibah dihadapkan pada kenyataan pahit, apakah harus
turut bersama suaminya menjadi Nasrani, bertahan di Habasyah hidup dalam
pengasingan, atau kembali ke Mekah dalam kekangan sang ayah yang tatkala itu masih
kafir.
Akhirnya kabar gembira tak terduga datang
menghampiri Ummu Habibah. Melalui an-Najasyi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melamarnya. Pernikahan pun digelar, namun ada sesuatu
yang berbeda dengan pernikahan ini, saat resepsi mempelai laki-lakinya
diwakilkan oleh an-Najasyi. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di Madinah. Pada tahun 6 atau 7 H, barulah Ummu Habibah radhiallahu
‘anha tiba di Madinah. Saat itulah kehidupan rumah tangganya bersama
Rasulullah dimulai. Usia rumah tangga ini berjalan selama kurang lebih 4 tahun,
berakhir dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ummu Habibah wafat pada tahun 69 H dengan usia 44
tahun.
Kesebelas, Maimunah binti
al-Harits bin Hazn.
Ummul mukminin Maimunah binti al-Harits dilahirkan
pada tahun 29 sebelum hijrah. Ia adalah saudari dari Ummu al-Fadhl, istri paman
Nabi, al-Abbas bin Abdul Muthalib. Ia juga merupakan bibi dari Abdullah bin
Abbas dan Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhuma.
Maimunah binti al-Harits adalah wanita terakhir
yang dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat menikah
dengan Nabi, ia telah berusia 36 tahun. Nabi menikahinya pada tahun 7 H, satu
tahun setelah perjanjian Hudaibiyah.
Hikmah dari pernikahan Nabi dengan ummul mukminin
Maimunah adalah menundukkan hati Bani Hilal untuk menerima Islam, kemudian
meneguhkan keislaman mereka.
Pada saat mengadakan safar antara Mekah dan
Madinah, tahun 51 H, ummul mukmini Maimunah binti al-Harits wafat. Usia beliau
saat itu adalah 80 atau 81 tahun.
Mariyah al-Qibtiyah
Mariyah al-Qibtiyah radhiallahu ‘anha
sering dinyatakan oleh sebagian orang termasuk di antara ummahatul mukminin.
Namun yang lebih tepat beliau tidak termasuk dari kalangan ummahatul mukminin.
Seorang wanita dikatakan ummahatul mukminin apabila Nabi mengikat akad
pernikahan dengannya dan menggaulinya, walaupun kemudian bercerai. Dengan
demikian, wanita yang dinikahi Rasulullah akan tetapi belum digaulinya tidak
disebut sebagai ummahatul mukminin. Sama halnya, seorang wanita yang digauli
Rasulullah bukan karena ikatan pernikahan –karena budak-, maka ia tidak disebut
sebagai ummahatul mukminin.
Dari sini, kita mengetahui bahwa Mariyah
al-Qibtiyah bukanlah ummahatul mukminin, karena Nabi tidak mengikat akad
pernikahan dengannya.
Hikmah dan Tujuan Pernikahan Nabi
Setelah membaca 11 biografi singkat ibu-ibu orang
yang beriman kita bisa memberi kesimpulan bahwa pernikahan nabi bukanlah
berorientasi sexual. Kita bisa memahami bahwa pernikahan beliau memiliki hikmah:
Politik dan dakwah: seperti menikahi anak-anak
ketua kabilah agar kabilah tersebut menerima Islam dan semakin menguatkan
posisi umat Islam di tanah Arab.
Sosial: seperti menikahi janda, Rasulullah menjadi
pelindung dan penanggung kebutuhan mereka dan anak-anaknya.
Syariat: mengubah adat istiadat yang bertentangan
dengan syariat. Dari sini kita ketahui, ketika adat istiadat
berbenturan dengan syariat, adat istiadatlah yang tunduk kepada syariat bukan
syariat yang tunduk dan harus beradaptasi dengan adat istiadat setempat.
Sumber:
– Muhammad, Bassam Hamami. 1993. Nisa Haula ar-Rasul. Damaskus.
– Muhammad, Bassam Hamami. 1993. Nisa Haula ar-Rasul. Damaskus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar