Pasal ke 31
Shalat-shalat Sunnah
Shalat-shalat Sunnah, yaitu:
1.
Sunnah yang Mu’akkad (yang
dianjurkan), jumlahnya ada 10 (sepuluh) raka’at, yaitu:
a.
Dua raka’at sebelum (qabliyah)
shalat Shubuh.
b.
Dua raka’at sebelum (qabliyah)
shalat Zhuhur atau Jum’at
c.
Dua raka’at setelah (ba’diyah)
shalat Zhuhur atau Jum’at.
d.
Dua raka’at setelah (ba’diyah)
shalat Maghrib.
e.
Dua raka’at setelah (ba’diyah)
shalat Isya’.
2.
Sunnah yang bukan Mu’akkad (bukan
yang dianjurkan), jumlahnya ada 12 (duabelas) raka’at, yaitu:
a.
Dua raka’at ditambahkan sebelum
shalat Zhuhur atau Jum’at.
b.
Dua raka’at ditambahkan setelah
shalat Zhuhur atau Jum’at.
c.
Empat raka’at sebelum shalat
Ashar.
d.
Dua raka’at sebelum shalat
Maghrib.
e.
Dua raka’at sebelum shalat Isya’.
3.
Sunnah shalat Witir,
sekurang-kurangnya satu raka’at, pertengahannya tiga raka’at dan
sebanyak-banyaknya sebelas raka’at. Adapun waktunya adalah dari sehabis shalat
Isya’ hingga Fajar.
4.
Sunnah shalat Dhuha’,
sekurang-kurangnya dua raka’at dan sebanyak-banyaknya delapan raka’at. Waktunya
adalah dari terbitnya Matahari sekedar sependirian hingga masuknya waktu shalat
Zhuhur.
5.
Sunnah shalat Wudhu’ (sunnatul
wudhu’), yaitu dua raka’at sesudahnya mengambil Air Wudhu.
6.
Sunnah Shalat Tahyatul Masjid
(menghormati masjid), yaitu dua raka’at jika memasuki masjid.
7.
Sunnah shalat Taraweh, yaitu dua
puluh raka’at dan tiap-tiap dua raka’at daripadanya dengan tasyahhud dan salam.
TANBIH:
Bermula orang yang
mempunyai Qadha’ Shalat fardhu (meninggalkan shalat wajib) maka jika dengan
uzur (sebab) yaitu karena lupa atau ketiduran, atau karena dipaksa, maka wajib
atasnya Shalat Qadha’ kapan saja waktunya tetapi sunnahnya adalah dengan segera
membayar qadha’nya itu, dan sunnah mendahulukannya atas shalat-shalat sunnah.
Adapun jikalau orang yang
mempunyai Qadha’nya itu dari tinggal shalat tidak dengan uzur (sengaja tidak
shalat) maka wajib atasnya segera membayar qadha’ itu dan tidak harus shalat sunnah,
hingga selesai daripada membayar qadha’nya itu.
Pasal ke 32
Dosa Meninggalkan Shalat
Dosanya orang yang
meninggalkan shalat adalah terlalu amat besar dan siksanya terlalu amat keras.
Maka telah diriwayatkan
oleh setengah daripada ulama bahwa ada seorang perempuan yang suka meninggalkan
shalat, kemudian dia mati.
Sewaktu diturunkannya
mayat itu kedalam kubur oleh saudara laki-lakinya, maka terjatuhlah ke dalam
lobang kubur sebuah kantong konjen yang berisi uang milik saudaranya itu.
Maka setelah ditutup
lobang kuburnya itu, saudaranya itu ingat bahwa kantong konjen berisi uangnya
itu terjatuh ke dalam lobang kubur.
Kemudian baliklah
saudaranya itu yang bermaksud hendak menggali kuburan itu untuk mengeluarkan
kantong konjennya itu sebab ada uangnya.
Sewaktu ia mulai menggali
kuburan itu maka keluarlah api daripada kuburan itu, dan ia tidak dapat tahan
atas panasnya.
Lalu ia kembalikan tanah
kuburan itu, dan ia menangis berjalan pulang, kemudian menanyakan kepada
ibunya, “betapakan dosa saudaraku semasa hidupnya?” dan
diceritakannyalah kepada ibunya itu mengenai kejadian di atas kuburan
saudaranya itu.
Maka ibunyapun sangat
amat menangis sedih hatinya mendengan cerita tentang kuburan anak perempuannya
itu, maka berkatalah ibunya “tiada dosa yang diperbuat oleh saudara
perempuanmu melainkan terkadang ia suka meninggalkan shalat lima waktu dengan
tiada uzur (tak ada sebab)”.
Pasal ke 33
Kewajiban Orangtua terhadap Anaknya
Wajib hukumnya atas
orangtua Ayah maupun Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya mengerjakan shalat
semenjak anaknya berumur 7 (tujuh) tahun.
Dan jika sampai umur
anaknya 10 (sepuluh) tahun belum juga mau melakukan shalat, maka wajib atas
Ayah dan Ibu memerintahkannya dengan ancaman suatu pukulan yang pantas dan
tidak membuatnya terlalu kesakitan.
Pasal Ke 34
Hadist Nabi SAW tentang Shalat
Bersabda Rasullullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ
تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ كَفَرَ.
Artinya:
Siapa orang yang
meninggalkan Shalat dengan sengaja maka telah Kafirlah ia.
Maka berdasarkan atas ini
hadist, dimaknakan oleh Imam Hanbali Radhiyallahu ‘an, dengan zahirnya
(kelihatannya), yakni tiap-tiap orang yang meninggalkan shalat dengan tiada
uzur (sebab) maka kafirlah ia.
Sedangkan yang dimaknakan
oleh Imam Syafi’I Radhiyallahu ‘an, yaitu jikalau orang yang meninggalkan
shalat dengan tidak meng-I’tiqadkan (tidak berkeyakinan) bahwa shalat itu wajib
baginya, maka kafirlah ia. Adapun jika ia meninggalkan shalat dikarenakan oleh
sebab malas saja padahal ia ber-I’tiqad (berkeyakinan) bahwa shalat itu walau
bagaimanapun wajib bagi dirinya, maka tidak menjadi kafir, tetapi dosanya
amatlah besar.
Pasal Ke 35
Shalat Berjama’ah
Shalat Berjama’ah
(bersama-sama imam) bagi laki-laki itu lebih afdhal daripada munfarid (shalat
sendiri).
Sedangkan bagi perempuan
afdhalnya adalah shalat di rumahnya sekalipun munfarid (shalat sendiri), dan
jikalau dapat dirumahnya itu berjama’ah dengan sama-sama perempuan atau mahramnya
(yang tidak menjadikan ia haram) maka itu lebih afhal lagi.
Syarat-syarat Shalat Berjama’ah 10 (sepuluh)
perkara:
1.
Bahwa janganlah ma’mum meng-I’tiqadkan
(berkeyakinan) bahwa Shalat imamnya itu batal, atau imamnya itu sedang shalat qadha’
2.
Janganlah ma’mum mengikuti
ma’mum.
3.
Janganlah seorang imam itu tidak
pandai mengucapkan huruf bacaan Al-Fatihah, atau imam menggantikan sesuatu huruf dengan huruf yang lain, misalnya: alhamdulillah
diganti dengan khabasara, melainkan jika ma’mumnya saja yang melakukan
kesalahan seperti itu.
4.
Janganlah ma’mum labih maju
berdirinya atau duduknya daripada imam.
5.
Janganlah ma’mum laki-laki
mengikuti imam perempuan atau banci, akan tetapi perempuan atau banci sah
mengikuti imam laki-laki.
6.
Berniat (didalam hati) oleh
ma’mum akan ma’muman (mengikuti imam) sewaktu di Takbirathul Ihram.
7.
Bahwa ma’mum mengetahui akan
imamnya ketika ruku’, sujud, duduk dan lainnya, dengan melihat padanya atau
mendengar suara imamnya takbir intiqal (mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ)
atau dengan takbir Muballigh (maksudnya suara bilal atau yang mengeraskan suara
imam), atau melihat pada sebahagian ma’mum akan ruku’ sujudnya.
8. Jangan
ada palang (penghalang) yang mencegah orang untuk berjalan antara tempat imam
dan tempat ma’mum. Misalnya antara imam dan ma’mum dihalangi oleh bambu yang
melintang, pintu tertutup, atau bale-bale yang tinggi, yang karena tingginya
itu mencegah akan orang yang berjalan sebagaimana biasa orang yang berjalan,
melainkan ia harus dengan sangat menunduk atau melompat.
9. Ma’mum
wajib mengikuti gerakan imamnya, maka afdhalnya adalah jika imam telah sampai
di batas ruku’ maka barulah ma’mum ruku’, dan jika imam telah sampai di batas
berdiri maka barulah ma’mum bangkit daripada ruku’, dan jika imam telah sampai
di batas sujud maka barulah ma’mum turun sujud, demikian pula pada rukun-rukun
yang lain.
a. Makruh
hukumnya bagi ma’mum membarengi gerakan imam dalam shalat, dan haram hukumnya
mendahulukan imam pada satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika
mendahulukan imam dengan dua rukun fi’li.
b. Makruh
hukumnya bagi ma’mum bila tertinggal gerakan imam dengan tiada uzur hingga imam
mendapat satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika tertinggal gerakan
imam dengan dua rukun fi’li jika ketiadaan uzur.
c. Adapun
jika ada uzur seumpama ma’mum lambat membaca Al-Fatihah dan Imamnya terlalu
cepat membacanya, atau ma’mum terlupa membaca Al-Fatihah maka setelah imamnya
ruku’ barulah ma’mum ingat, atau ma’mum yang muwaffak membaca do’a
istiftah dan imamnya ruku’ sebelum ma’mum membaca Al-Fatihah, maka dengan salah
satu uzur dalam kondisi yang tersebut ini boleh ma’mum ketinggalan daripada
imamnya karena menghabiskan bacaan Al-Fatihah hingga imamnya bangkit daripada
sujud yang kedua.
10.
Jangan berlawanan gerakan ma’mum
dengan gerakan imamnya dengan perbedaan yang sangat berbeda (mencolok)
dilihatnya, yaitu seumpama imam sujud tilawah atau sujud sahwi maka tidak
diikuti oleh ma’mum akan sujud tilawah atau sujud sahwi itu. Perbedaan gerakan
oleh sebab yang demikian itu akan menjadi batal shalat ma’mum jika ia tidak
berniat mufarraqah (berpisah dari imam).
Artinya muwaffak:
yaitu makmum yang memulai didalam pendirian shalatnya bersama-sama imam, dimana
waktu yang yang didapat ma’mum cukup muat untuk membaca Al-Fatihah seluruhnya.
Artinya Masbuk:
yaitu ma’mum yang tidak mendapatkan waktu yang cukup membaca Al-Fatihah
seluruhnya kecuali hanya takbiratul ihram atau mendapatkan imamnya lagi ruku’.
Ketentuan-ketentuan Masbuk:
1.
Jika Masbuk mendapatkan imamnya
lagi berdiri, maka sesudahnya ma’mum takbiratul ihram harus segera ia membaca
Al-Fatihah dengan tidak perlu membaca اَعُوْذُبِاللهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ atau do’a istiftah lagi,
karena apabila imam ruku’ sedangkan ma’mum belum menyelesaikan Al-Fatihah, maka
ia boleh langsung mengikuti imamnya untuk ruku. Dan ma’mum mendapatkan raka’at
itu.
2.
Apabila Masbuk mendapatkan imam
lagi ruku’, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram ia langsung ruku’ mengikuti
imam dengan sunnah membaca takbir intiqal (اَللهُ اَكْبَرُ), maka jika
ma’mum mendapatkan thuma’ninah (diam sekedar سُبْحَانَ اللهِ) bersama-sama imam di dalam
ruku’ itu, maka dapatlah ma’mum akan raka’at itu.
Akan tetapi bilamana ma’mum tidak mendapatkan thuma’ninah itu bersama-sama
imam (misalnya ma’mum ruku’ bersamaan imamnya I’tidal) maka ma’mum tidak
mendapatkan raka’at itu.
3.
Adapun jikalau Masbuk mendapatkan imam lagi sujud atau lagi duduk antara dua sujud
atau lagi tasyahhud, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram, dia langsung
mengikuti imam dimana adanya dengan tidak membaca takbir intiqal lagi. Dan
ma’mum dalam hal ini tidak mendapatkan raka’at itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar