I. Menentukan Awal Puasa
Disini akan disebut segala sebab-sebab
yang mewajibkan melakukan puasa Ramadhan:
Ru’yatul Hilal:
Maka adalah:
* Setiap orang yang
melihat bulan dengan matanya sendiri, maka wajib atasnya berpuasa, walaupun Sabit
Ru’yah (terlihat bulan sabit) malam itu atau tidak. Begitupun bagi orang
yang tidak melihat bulan, jika ia mengi’tiqadkan (meyakini diri) akan kebenaran
orang yang melihat bulan itu, sekalipun yang melihatnya itu orang yang bukan
adil, maka wajib atasnya berpuasa.
*
Jika orang hanya menyangka (mengira-ngira) akan kebenaran orang yang
melihat bulan itu, maka boleh baginya puasa.
*
Jika ia syak (meragukan) akan kebenaran yang melihat bulan itu, maka tidak
diharuskan baginya berpuasa.
a.Hisab (hitungan):
Berpuasa dengan memakai Hisab (perhitungan) dalam menetapkan bulan Ramadhan,
atau bulan Sya’ban atau lainnya, maka tidak mengharuskan orang berpuasa,
melainkan jika yang menghisab itu (mengitung itu) orang yang telah pandai
ilmunya dalam ilmu Hisab Taqwim yaitu ilmu yang mempelajari akan
perjalanan Matahari, Bulan, Buruj dan munzalah, yang berada keduanya itu pada
malam ru’yah atau pada malam adanya bulan, serta ada berapa derajat didalam
buruj-buruj atau munzalah dan berapa derajat antara keduanya.
*
Maka apabila seseorang mengetahui akan sekalian ilmu itu, disebutlah orang
itu Hasib (ahli menghitung), boleh bagi dirinya sendiri berpuasa dengan hisab
taqwimnya, itupun tidak menjadi puasanya itu pada bilangan bulan Ramadhan,
Pada Syekh Ibnu Hajar di tahfid, melainkan jadi puasanya itu puasa sunnah saja.
*
Jika seseorang kepandaian ilmu hisabnya hanya sekedar taqlid (garis besar)
saja, atau disebut Ahjaza Dabawuda atau dengan almunka, padahal
ia tidak mengetahui akan taqwim seperti yang tersebut di atas, maka tidak boleh
dan tidak sah baginya berpuasa dengan hisabnya itu. Karena bukan seperti itu
yang dinamakan Hasib (ahli hitung) oleh kalangan ulama.
B Hisab dan Ru’yah:
Jika satu orang melihat bulan Sya’ban
dengan matanya sendiri atau ia mengi’tiqadkan (berkeyakinan) akan kebenaran
orang yang melihatnya, sekalipun orang itu bukan adil; maka apabila cukup
hitungan 30 (tigapuluh) hari akan bulan Sya’ban, wajiblah bagi keduanya itu
berpuasa sekalipun orang lain kebanyakan belum berpuasa.
Dan hukum ini berlaku hanya kepada orang tersebut saja.
Tetapi jika hanya sekedar mendapat
keterangan dari salah satu orang yang melihat bulan itu, maka tidak harus
baginya berpuasa.
Penentuan Puasa Secara Umum:
Sedangkan hukum berpuasa secara umum pada
sekalian orang adalah:
*
Jika bulan Sya’ban itu dilihat oleh banyak orang pada malam 30 (tigapuluh)
Rajab.
Maka apabila telah cukup 30
(tigapuluh) hari dari bulan Sya’ban, wajiblah hukumnya berpuasa bagi sekalian
orang pada negeri itu, sekalipun tidak terlihat bulan Ramadhan atau tidak ada Qadhi
Syar’i (orang atau lembaga yang menerima akan suatu kesaksian misalnya
Departemen Agama) pada negeri itu.
* Jika telah cukup 30
Sya’ban, 30 Kamal Rajab dan dari ru’yahnya pula yang sabit pada orang-orang
banyak adanya, maka wajib berpuasa secara umum jika pada malam 30 Sya’ban dapat
terlihat bulan Ramadhan oleh orang banyak.
* Jika pada malam 30
Rajab atau 30 Sya’ban atau 30 Ramadhan tidak banyak orang yang melihat bulan,
melainkan hanya dua atau tiga orang, kemudian beberapa orang itu bersaksi bahwa
mereka mengaku dengan sebenar-benarnya melihat bulan, maka syarat memberlakukan
puasa secara umum adalah seperti yang disebut oleh sebahagian besar ulama di
dalam kitab yang mu’tamad, bahwa saksi-saksi itu harus lengkap padanya
syarat-syarat adil, dan syarat-syarat mar’ut, dan diterima akan saksi-saksi itu
oleh qadhi syar’i, yaitu yang sempurna baginya ruku-rukun qadhi dan
syarat-syaratnya.
Jika tidak sempurna baginya
yang demikian itu, atau tidak sempurna bagi saksi-saksi akan syarat-syarat adil
dan syarat-syarat mar’ut, maka tidak wajib dan tidak harus bagi umum sekalian
berpuasa, malainkan hanya bagi orang-orang yang mengi’tiqadkan (berkeyakinan)
kebenaran akan saksi-saksi itu, maka wajib baginya berpuasa, itupun jikalau
tidak didapat keterangan yang menyalahkannya (membantah).
Syarat-syarat adil dan
syarat-syarat mar’ut maka telah tersebut sekaliannya itu di dalam segala kitab
yang mu’tamad, dan syaratnya terlalu banyak.
Sebahagian daripada syarat-syarat adil adalah bahwa orang tersebut memiliki
sikap sebagai berikut:
1. Selalu memerintahkan
akan yang wajib, dan mencegah atas perbuatan yang haram.
2. Tidak pernah
mendengarkan bunyi-bunyian yang haram.
3. Mencegah orang lain
meninggalkan shalat.
Adapun syarat-syarat Mar’aut adalah:
1. Orang tersebut tidak
pernah meninggalkan Shalat Sunnah.
2. Tidak pernah jatuh
akan bulu jenggotnya.
Apakah ada manusia yang memiliki
syarat-syarat seperti ini pada jaman sekarang?
Apalagi ditambah dengan syarat-syarat yang
lain, maka hendaknya diketahui akan syarat-syarat yang lain itu dan dapat
dilihat di dalam kitab Fiqih yang Mu’tamad, yaitu bagi mereka yang mengetahui
akan bahasa arab dan sudah lama waktunya ia mengaji (menuntut ilmu agama) pada
guru-guru yang mengerti.
Maka nanti akan di dapat keterangan
baginya apakah ada atau tidak di negerinya akan saksi yang memiliki
syarat-syarat saksi serta rukun-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.
Bilamana hendak mengetahui akan yang
demikian itu maka dapat dibaca pada kitab yang dinaqol dari kitab-kitab yang
mu’tamad sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami, yaitu pada kitab Taudhihul
Adillah, atau kitab Qauninul Syar’iyyah.
Syarat-syarat Shahnya berpuasa adalah:
1. Islam.
2. Niat setiap malam
pada puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa wajib lainnya. Jika puasa sunnah
maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir
Matahari dan belum makan dan minum.
Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ
هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.
Artinya: Sahjaku puasa esok hari daripada
menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada ini tahun Lillahi Ta’ala. (niat ini
dibaca di dalam hati)
3. Mencegah diri
daripada sengaja makan dan minum, serta memasukkan sesuatu barang atau benda
kedalam lubang badannya.
4. Mencegah diri
daripada sengaja muntah.
5. Mencegah diri
daripada jima’ atau pekerjaan lainnya yang mengeluarkan mani.
*
Apabila makan atau minum atau jima’ oleh karena ia lupa, tidak menjadi
batal puasanya.
*
Tetapi jika ia ingat pada tengah-tengah pekerjaan yang demikian itu maka
wajib segera diberhentikan.
*
Tidak batal puasa jika menelan ludah yang tidak dicampur apa-apa seperti riak/lendir
atau darah atau bekas-bekas sisa makanan, atau lainnya.
*
Adapun merokok atau menyisik tembakau maka membatal-kan puasa karena
termakan sedikit diludahnya yang bercampur dengan sedikit bekas-bekas benda
itu.
6. Suci daripada Haidh
(menstruasi) dan Nifas (mengeluarkan darah melahirkan) pada seharian berpuasa
itu.
7. Berakal pada seharian
berpuasa itu.
* Apabila mendapat haid
(mens) atau nifas (keluar darah) sekalipun sedikit dan waktunya sebentar saja
pada hari berpuasa itu, maka batal puasanya.
* Demikian pula jika
mendapat hilang akal seperti gila atau mabuk daripada minuman atau makanan maka
batal puasanya sekalipun hilang akal atau mabuknya itu hanya sebentar saja.
*
Adapun mabuk yang diuzurkan oleh Syara’ misalnya,
pada malamnya (atau diwaktu sahur) ia makan suatu makanan yang dia tidak mengetahui
bahwa makanan itu memabukkan. Jika tiba-tiba pada siang harinya ia menjadi
mabuk, maka tidak menjadi batal puasanya, jika mabuknya tidak terus-menerus
pada seharian itu.
* Demikian pula jika
mendapat penyakit pitam (ayan), jika tidak terus-menerus pada seharian itu, maka
tidak batal puasanya.
Hari-hari yang diharamkan berpuasa:
1. Tidak Sah dan haram
hukumnya orang yang berpuasa pada dua hari raya yaitu hari raya Idhul Fitri dan
Idhul Adha.
2. Tidak Sah dan haram
orang yang berpuasa pada hari-hari Tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13
daripada bulan haji atau Zulhijjah.
3. Haram hukumnya
mengawali puasa pada hari yang syak (ragu-ragu), yaitu pada hari tanggal 30
Sya’ban jika ada yang mengabarkan bahwa ada orang melihat bulan tetapi tidak
cukup syarat qabulnya.
Sebagaimana yang tersebut
maka bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَ أَ بَا الْقَاسِمِ.
Artinya: Barangsiapa
berpuasa dihari Syak maka niscaya bermaksiat olehnya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
4. Haram hukumnya
berpuasa sunnah yang di mulai dihari 16 bulan Sya’ban hingga akhir bulan
Sya’ban.
III. Syarat-syarat Wajib
Berpuasa
Syarat-syarat Wajib Berpuasa:
1. Islam
2. ‘Aqil Balligh
(berakal dan dewasa)
3. Kuasa.
Tidak wajib qadha puasa atas seorang kafir
jika masuk Agama Islam, begitu pula kepada orang gila bila sudah sembuh dan
juga anak-anak jika telah balligh (dewasa).
*
Wajib atas seorang Bapak dan Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya untuk
berpuasa ketika anaknya itu telah berumur 7 tahun, dan boleh dipukul dengan
pukulan yang tidak melukai bilamana anak tersebut tidak mau berpuasa padahal
anak itu telah berumur 10 tahun, itupun jika anak-anak tersebut kuasa untuk
berpuasa.
*
Tidak wajib berpuasa bagi orang yang tidak kuasa berpuasa dikarenakan
sangat tuanya atau karena terkena suatu penyakit yang tidak dapat diharapkan
lagi untuk kesembuhannya.
*
Tetapi Wajib atas keduanya itu untuk mengeluarkan fidyah setiap hari 1
(satu) mud selama ia tidak berpuasa, yaitu setengah gentong fitrah (2,5 kg)
yang diberikan kepada fakir miskin seperti zakat fitrah.
*
Orang yang sakit yang tidak sanggup berpuasa atau orang yang sedang
berlayar (musafir) sejauh dua marhalah (90 KM) maka boleh bagi keduanya itu
tidak berpuasa, tetapi wajib qadha’ di kemudian hari, adapun jika ia tidak
mengqadha’ hingga bertemu lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib bagi
keduanya itu bersama-sama dengan qadha’ puasanya adalah membayar fidyah atas
tiap-tiap hari yang tidak berpuasa 1 (satu) mud.
Jika orang tersebut
senantiasa sakit terus-menerus hingga meninggal dunia, maka tidak wajib suatu
apapun.
Jika orang tersebut
telah sembuh dan sehat yang membolehkan dia membayar qadha’ puasanya, tapi
tidak juga dia membayar qadha’nya itu hingga dia meninggal dunia, maka wajib
padanya tiap-tiap satu hari tidak berpuasa adalah 1 (satu) mud.
Makruh Dalam Berpuasa
Makruh (dibenci Allah SWT) atas orang yang
berpuasa memakai wangi-wangian, sifat mata, bersugi (sikat gigi) apabila sudah
gelincir matahari.
Sunnah-Sunnah Dalam Berpuasa
Sunnah-sunah dalam berpuasa, yaitu:
1. Membaca kitab suci
Al-Qur’an dengan memakai adab dan tatacaranya.
2. Sunnah berI’tikaf
(berdiam) di dalam Masjid.
3. Menyegerakan berbuka
puasa jika yakin sudah masuk Maghrib.
4. Mengakhirkan waktu
sahur sebelum masuk waktu imsak.
5. Sunnah berbuka puasa
dengan kurma.
6. Sunnah membaca do’a
ini setelah berbuka puasa:
أَللَّـهُمَّ لَكَ
أَصُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ،
وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَلَى.
Artinya:
Ya Allah Tuhanku bagi
Engkau aku berpuasa dan atas rizki Engkau aku berbuka puasa, telah berlalu rasa
dahaga dan telah basah selurut urat-urat badan, dan telah tetap ganjaran
pahalanya Insya Allah Ta’ala.
Yang Membatalkan Pahala Puasa
Tersebut di dalam Hadist Nabi
Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
خَمْسُ
يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْكِذْبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ
الْكَاذِبَةُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ.
Artinya:
Ada lima perkara yang
membatalkan pahala puasa, yaitu: Berdusta (berbohong), mengumpat (marah-marah),
mengadu domba satu sama lain (menceritakan orang), bersumpah dusta (sumpah
bohong), melihat dengan syahwat.
Puasa-puasa Sunnah
Puasa-puasa sunnah yang dapat dikerjakan adalah:
1.
Sunnah berpuasa pada 6 hari di bulan
Syawwal dan afdhalnya dari hari yang ke-2 setelah Hari Raya Idhul Fitri,
berturut-turut.
2.
Sunnah berpuasa pada tanggal 8 dan 9
bulan Zulhijjah, yaitu yang dinamakan yaumal tarwiyah (hari tarwiyah)
dan yaumal arofah (hari orang berwukuf).
3.
Sunnah berpuasa pada tanggal 9 dan 10
bulan Muharram, yaitu yang dinamakan yauma tasu’a dan yauma ‘asyura.
4.
Sunnah berpuasa di bulan Rajab, bulan
Sya’ban, bulan Zulqaidah, dan bulan Zulhijjah selain daripada hari raya Idhul
Adha dan hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah.
5. Sunnah
berpuasa pada setiap hari Senin dan Kamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar